BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa
manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan
akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia
lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering
menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu
penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi
yang serba canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan
kekosongan spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam
bahasa sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai
tujuan akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha
Memiliki dan Maha Absolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan
memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa
senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan.
Tasawuf sering
dianggap sebagai salah satu metode alternative yang banyak dipakai manusia
untuk mendekati Tuhannya. Tasawuf juga merupakan fenomena yang menarik
perhatian sehingga tema-tema aktual yang paling menonjol sekarang ini adalah
tema-tema sufisme. Pada abad
pertama orang belum mengenal istilah tasawuf, yang muncul hanya benih-benihnya
saja, seperti munculnya istilah “nussak”, “zuhhad”, dan “ubbad”. Nussak adalah
orang-orang yang menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah;
Zuhhad adalah orang-orang yang menghindari dunia beserta kemegahan, harta
benda, dan pangkat duniawi; dan Ubbad adalah orang-orang yang berusaha
mengabdikan dirinya hanya semata-mata kepada Allah. Pada abad ini muncul nama
Hassan al Bashri yang terkenal dengan ajarannya khauf (takut kepada Allah, dan
raja’(berharap atas kasih Allah).
Di samping ada
tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan,
dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang
mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf
irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia,
tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak
pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak
tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah, yang
tercatat dengan perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf
berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal
sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf
terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran
taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang
kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan
Ibn ‘Arabi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah:
1. Apa pengertian tasawuf irfani?
2. Siapa tokoh dan pemikirannya dalam paham tasawuf
irfani?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2. Mengetahui tokoh-tokoh dan paham dari aliran tasawuf irfani.
D.
Metode
Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini metode
penulisan yang kami gunakan adalah metode kepustakaan, dengan mencari
bahan-bahan materi dari berbagai sumber, baik media cetak ataupun dari
kajian-kajian Islam multi media.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf Irfani
Secara
etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’
(mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan
dengan ma’rifat sufistik. Orang yang ‘irfat/ makrifat
kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf
(ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang
kata itu diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada
diri seorang ‘arif (yang bermakrifat kemada Allah), dan menjadi hal baginya.
Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh
penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu
(ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir
al-wudjani (penangkapan langsung secara emosional), bukan penagkapan langsung
secara rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat dikalangan sufi
dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol
membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara
Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara
intens.
Sebagai
sebuah ilmu, ‘irfan memiliki dua aspek yakni aspek praktis dan aspek teoritis.
Aspek praktisnya adalah bagian menjelaskan hubungan dan penaggungjwaban manusia
terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai
etika. Bagian praktis ini juga di sebut syar wa suluk (perjalanan rohani).
Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani (salik) yang ingin
mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan,
menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berturutan, dan keadaan
jiwa (hal) yang bakal dialami sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara
itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi),
mendiskusikan manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini
menyerupai teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang
wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan
problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada
prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang
kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
Di
samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran,
keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga
tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf
irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan
antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan
sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling
tinggi.
B.
Tokoh-tokoh Sufi yang Termasuk dalam Aliran Tasawuf Irfani
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani,
diantaranya sebagai berikut:
1.
Rabi’ah Al-Adawiyah
Ø
Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah
yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah,
diperkirakan lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di
dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia
dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia
putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal
ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah,
ia dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga
atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia di kenal dengan Al-Qaisiyah atau
Al-Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya
dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala
Al-Adawiyyah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.
Setelah
dimerdekakan oleh tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan
sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan
beribadah untuk mendekatan diri kepada Allah sekaligus kekasihnya. Ia
memperbanyak taubat dan menjauhi kehidupan
duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak
segala bantuan materi yang diberikan
kepadanya.
Bahkan dalam do’anya, ia tidak
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat
ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya, sebelum bertobat
pernah menjalani kehidupan duniawi . untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah
tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga
begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk
menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut
Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu
ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai
kehidupan duniawinya.
Ø Ajaran Tasawuf
Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah
Al-‘Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar
tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis
aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan penharagaan kepada
Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas
dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap
dan pandangan Rabi’ah ‘Al-Adawiyyah tentag cinta dipahami dari kata-katanya,
baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan
bahwa katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akan Kau bakar
kalbu yang mencintai-Mu?” Tiba-tiba terdengar suara, ”Kami
tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”
2.
Dzu An-Nun Al-Mishri
Ø Biografi
Singkat Dzu An-Nun Al-Mishri
Dzu
An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar
pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al- Faidh
Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun
180 H/ 796M. dan meninggal pada tahun 246H/856M. Julukan Dzu An-Nun diberikan
kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan
kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya
dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal
mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi
banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu
tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir,
mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon,
Anthokiah, dan Lembah kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang
banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka
dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan
dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin
Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya.
Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib
An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil
Al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat
maupun tasawuf.
Sebelum
Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah
orang pertama yang memberi tafsiran
terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang
membicarakan tentang Ahwal dan Maqamat para wali dan orang yang pertama memberi
definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh
besar dalam pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah
penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat
tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada awal pertumbuhan ilmu
tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan
keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya menyebabkan ia harus
berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya,
ia pernah di panggil menghadap Khalifah
Al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh
penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia
meninggalkan dunia yang fana ini.
Ø Ajaran-ajaran
Tasawuf Dzu An-Nun Al-Mishri
·
Makrifat
Al-Mishri
adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan
riwayat Al-Qathi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd
Al-Qadir dalam falsafah As-Sufiah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil
memperkenalkan corak baru tentang makrifat
dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan “makrifat sufiah” dengan
“makrifat aqliyah”. Bila yang pertama menggunakan pendapat qalb yang
biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa
digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah
musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam
hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri menyerupai
gnosisme ala-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian di anggapa sebagai jembatan
menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad.
Pandangan-pandangan
Al-Mishri tentang makrifat pada umumnya sulit di terima kalangan teolog
sehingga di anggap sebagai seorang zindiq. Karena itu pula, di tangkap Khalifah
kemudian dibebaskan. Berikut beberapa pandangannya tentang makrifat:
ü Sesungguhnya
makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang
dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazar milik para
hakim, mutakalimin dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan
yang khusus dimilki para ahli Allah. Sebab, mereka adalah orang yang
menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak
dibukakan untuk hamba-hamban-Nya yang lain.
ü Makrifat yang
sebanarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang
murni seperti matahari tak dapat di lihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa
seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam
kekuasaan-Nya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah
pada lidah mereka, mereka melihat demgan penglihatan Allah, mereka berbuat
dengan perbuatan Allah.
Kedua
pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah tidak dapat
di tempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan
jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari
ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahanterangkat ke
atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan,
samapai akhirnya, ia sepenuhnya di dalam-Nya dan lewat diri-Nya.
Al-Mishri
membagi pengetahuan tentang Tuhan (makrifat) menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Pengetahuan untuk seluruh Muslim
2.
Pengetahuan khusus untuk filosof dan ulama dan
3.
Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
·
Maqamat dan Ahwal
Pandangan
Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah,
ash-shabr, at-tawakal dan ar-ridha. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyyat
terdapat keterangan berasala dari Al-Mishri yang menjelaskan bahwa
simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kekafiran, dan
memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun demikian, dapat
dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut Al-Mishri lebih sedikit dibandingkan
dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut
Al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu taubat
awam dan taubat khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari mengingat
Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap
sebagai kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandang
ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah
“engkau melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat
tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju
kepada kebesaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.
Keterangan
Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari
sebuah riwayat. Suatu ketika ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit
itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang
tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpali,
“Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
Berikut ini
merupakan sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan haknya di
belenggu sambil di bawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang
banyak. Ia berkata , “Ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan
karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan merupakan nikmat dan kebaikan.
Berkenaan
dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti
memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki
kekuatan.
Ketika di tanya
tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati
menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Al-Qanad, yakni ar-ridha adalah ketenangan hati dengan
berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna
yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada pemilihan kata Al-Mishri memilih
kata surur al-qalb untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qanad memilih kata sukun
al-qalb.
Berkenaan
dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada Tuhan” sebagai urutan
pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda
orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad
saw, dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya.
3.
Al-Junaidi al-Baghdadi
Ø
Biografi Al-Junaidi al-Baghdadi
Abu
AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar
tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga
pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn
Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.
Al-Junaidi
pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang
bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya
berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga
sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan
kecerdasan Al-Junaidi,
seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik.
Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari
tasawuf yang bercorak ortodoks.
Ø
Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Junaidi al-Baghdadi
Sebelum
ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi
cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil
sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli
fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang
mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak
pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at.
Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang
yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan
dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.
Dari
adanya hal itu, Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan
pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd,
tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu,
barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia
adalah sufi.
Karena
penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi
terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini
merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang
berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan
hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan
syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk
sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah). Hal itu
berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan
amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah
batiniah berupa hakikat.
Al-Junayd
dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam
menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya
yang bersandarkan pada Al Qur’an dan Hadits.
Hal
itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya: dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dimana,
pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang
meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar
kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan
duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang
lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu
peduli.
Karena diakuiatau tidak bahwasanya Tasawuf
sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara
langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat
dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang
menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya
tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh
tasawuf dengan model masing-masing.
Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad
yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan
hadis. Artinya tasawuf Junaid al-Baghdady ini tetap memandang bahwa
pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini
sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin
diri atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas
antara orientasi ukrawi dan moralitas.
Dari
ajaran tasawuf Al-Junaidi al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang
sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi
Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah
SWT.
4. As-Sulami
Ø Biografi As- Sulami
Nama lengkap al-Sulami adalah
Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul
Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya'ban 412 H/1012 M.[2] Dia pakar hadits, guru para
sufi,l dan pakar sejarah. Dia seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi
penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang
berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari
ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn
Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja.
kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd
al-Sulami (w. 360 H/971 M).
Ø
Ajaran-ajaran Tasawuf As- Sulami
Manusia akan
menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain
Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja
yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah).[4] Karena فاينما تولوا
فثم وجه الله , kemanapun engkau berpaling, disitulah
wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep
dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah
lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir
bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan
mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan
dzikir ruh.
Al-Sulami mengambil beberapa tasawuf
dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn Manazil (w. 320 H/932 M), Abu Ali
al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-Tasawuf), Abu
Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari hal itu, otomatis warna dan
corak tasawuf al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf mereka.
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, tasawuf
berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT (ma'rifah) yang tadinya hanya sebagai
jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf
teoritis. Al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi
pada masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang
semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah.
Selain itu, dia juga terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga
memaparkan biografi-biografi para sufi.
Al-Sulami
menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan perkara
bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af.
5.
Abu Manshur Al-Hallaj
Ø
Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama
lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad
Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada
tahun 244 H/255M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16
tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah
Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada
‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad
dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri
kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia
digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.
Ø
Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Di
antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan wahdat
asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
dikembang Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu denga Tuhan
(hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu
tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil
tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Al-Hallaj
berpendapat bahwa diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia
menakwilkan ayat berikut:
øÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î) 4n1r& uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$#
Artinya: dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada
Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
[36] Sujud di sini berarti menghormati dan
memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud
memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
Bahwa
Allah member perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang
berhak diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam
sebenarnya ada unsure ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum
menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada
Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang
menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu
dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama.
Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam lah, Allah muncul.
Menurut
Al-Hallaj, pada hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak
ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga
tindakannya. Namun, di lain waktu, Al-Hallaj mengatakan: “Barang siapa
mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun
kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam
dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali
menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dengan
demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga
tidak sama dengan Tuhan. Dapat di tarik kesimpulan bahwa hulu yang terjadi pada
Al-Hallaj tidaklah real karena member pengertian secara jelas adanya perbedaan
antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran
psikis yang berlansung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekadar
terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada
perbedaan.
6.
Abu Yazid Al-Bustami
Ø
Biografi Singkat
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di
daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah
Thaifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian
masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang
kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Sejaka dalam kandungan
ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayi yang dalam
kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika sang ibu memakan makanan
yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu
meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan
seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada
orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat
Al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat
ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang
kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi
setiap panggilan Allah.
Perjalanan
Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran
fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali
Al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada
Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam
menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di gurun-gurun
pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.
Ø
Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran
tasawuf Abu Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’
berasal dari kata ‘faniya’, yang berate musnah atau lenyap. Dalam istilah
tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal
ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendfinisikannya, “Hilangnya
semua hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia,
sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan segala sesuatu
secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat
sesuatu.”
Jalan
menuju fana’, manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia
bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan
menjawab,” Tinggalkan diri
(nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ dan salah
satu ucapannya: “Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’,
kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun
baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap,
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
kepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya
merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu
juga ia sedang menjalani baqa’. Ittihad
adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’
dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini
tidak ditemukan.
Apakan
karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikan
dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih
lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak terdapat
dalam buku karangan orientalis.
Dalam
tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan
yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam
ittihad,”identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi
bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara
dengan nama Tuhan.
Denga
fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia
telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya.
Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai
berada di pintu gerbang ittihad.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, di samping ada
tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan,
dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang
mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf
irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia,
tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak
pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani,
diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan perkembangan mistisme
Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah.
Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid
Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu
Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul
dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan
wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Tokoh-tokoh Shufi.
Surabaya: Karya Utama
Anwar, Rosihon, 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia