RESUME
ILMU BALAGHOH
البلاغةوالفصاحة
Dosen : Asep Majdi Tamam, M. Ag.
Ditulis oleh :
Dede Nurul
Fu’adah
Iwa Kartiwa
Irfan Nursyamsi
Esti
Ardiagarini
INSTITUT AGAMA
ISLAM DARUSSALAM (IAID)
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM (PAI)
CIAMIS 2013
A. Makna Fashohat (الفصاحة معن )
Istilah
fashohat erat kaitannya dengan Balaghah. Bahkan sebelum
mempelajari balaghah terlebih dahulu kita harus pelajari tentang fashohat.
Pengertian fashohat adalah sebagai berikut:
1.
Menurut
etimologi, fashohat adalah perkataan yang jelas.
2.
Menurut
terminology, pengertian dari fashohat ini berbeda tergantung pada
penggunaannya, yaitu:
a)
Fashohatul-kalimah
atau disebut juga dengan fashohatul mufrad.
b)
Fashohatul-kalam
atau susunan kalimatnya.
c)
Fashohatul-mutakallim
atau orang yang berbicaranya.
1.
Fashahatul
kalimat ( kalimat yang fashiih )
Suatu
kalimat ( Kosakata ; bhs. Indo ) dikategorikan sebagai kalimat
yang fashiih apabila kalimat tersebut selamat dari : 1 ) Tanafurul huruf. 2 )
Mukhalafatul qiyas. 3 ) Ghorobah.
a.
Tanafurul huruf adalah sifat yang terdapat di dalam suatu
kalimat yang menyebabkan kalimat tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh
lisan. Hal demikian dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal.
Contoh :
الظَّشُّ
|
: sebutan bagi tempat yang kasar.
|
اَلْهُعْخُع
|
: sebutan bagi tanaman yang
dimakan onta.
|
النُّقَاخ
|
: sebutan bagi air tawar yang
bersih.
|
المُسْتَشْزِر
|
: sebutan bagi rambut yang
digulung.
|
Lisan orang - orang Arab merasa kesulitan dalam mengucapkan lafadz
– lafadz di atas dikarenakan susunan huruf dan tata letak syakal ( harokat )
yang kurang ideal dan proporsional ( terjadi tanafurul huruf ). Oleh karena
itu, empat kalimat di atas tidak termasuk kalimat yang fashih. Contoh lain
dalam bahasa jawa adalah kata “ rol – rolan “. Bagi mayoritas
lisan orang Jawa sangatlah sulit untuk mengucapkan kata tersebut dengan fashih,
dikarenakan ketidak idealan susunan huruf dan tanda bunyi yang terdapat di
dalam kalimat tersebut.
b.
Mukhalafatul qiyas adalah kalimat tersebut tidak sesuai dengan
kaidah – kaidah ilmu sharaf. Hal demikian dapat diketahui dengan merujuk pada
kaidah – kaidah ilmu sharaf.
Contoh :
Al Mutanabi
berkata :
فَاِنْ يَكُ
بَعْضُ النَّاسِ سَيْفًا لِدَوْلَةٍ ☼ فَفِى النَّاسِ بُوْقَاتٌ لَهَا
وَطُبُوْلٌ
“ Bila sebagian orang – orang itu menjadi
pedang bagi Negara, maka di antara mereka akan ada yang menjadi terompet –
terompet dan genderang – genderangnya. “
Dalam syair Al
Mutanabi di atas terdapat lafadz بوقات ( jamak muannats
salim dari lafadz بوق ). Lafadz بوقات tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai
lafadz ( kalimat ) yang fashih karena tidak sesuai dengan kaidah ilmu sharaf.
Menurut kaidah ilmu sharaf, kalimat بوق tidak
memenuhi syarat untuk dibuwat menjadi jamak muannats salim. Akan tetapi kalimat
tersebut hanya dapat dijamakkan dengan jamak taksir ; ابواق
.
Di dalam syair
yang lain al Mutanabi berkata :
إنّ بنىَّ للئام زهده ☼ مالى فى صدورهم من موددة
Kalimat موددة pada
syair di atas juga tidak termasuk kalimat yang fashih. Menurut kaidah I’lal
& Ibdal dalam ilmu sharaf, dua huruf dal tersebut harus diidghomkan ;
مودّة .
c.
Ghorobah
berarti kalimat tersebut tidak menampakkan arti secara jelas dan jarang
digunakan sehingga terdengar asing. Hal demikian dapat kita ketahui dengan
memperbanyak menela’ah bahasa arab.
Contoh :
تَكَأْكَأَ
|
Bermakna اِجْتَمَعَ ( berkumpul )
|
اِفْرَنْقَعَ
|
Bermakna اِنْصَرَفَ( berangkat )
|
اِطْلَخَمَّ
|
Bermakna اِشْتَدَّ ( dahsyat )
|
Ketiga kalimat di atas (تَكَأْكَأَ ,
اِفْرَنْقَعَ &
اِطْلَخَمّ )
termasuk dalam kategori asing karena dalam percakapan orang Arab ketiga kalimat
tersebut sangat jarang digunakan. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ geneyo
“ bermakna bagaimana. Kata “ geneyo “ adalah kosakata asli
penduduk Pacitan. Apabila kata tersebut terdengar di luar daerah Pacitan (
Pekalongan, Indramayu, Banyumas dll ) maka akan terkesan asing dan tidak jelas
dalam menunjukkan makna yang dikehendaki oleh orang yang mengucapkannya.
2.
Fashahatul
Kalam ( Kalam yang fashiih )
Suatu
kalam ( Kalimat ; bhs. Indo ) dikategorikan sebagai kalam yang fashiih
apabila kalam tersebut selamat dari : 1 ) Tanafurul kalimat. 2 )
Dla’fut Taklif. 3 ) Ta’qid.
a.
Tanafurul
kalimat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kalam yang menyebabkan kalam
tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal semacam ini dapat
diketahui dengan naluri perasaan yang normal.
Contoh :
فِى رَفْعِ عَرْشِ الشَّرْعِ يَشْرَع ☼ وليسَ
قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْر
كَرِيْمٌ مَتَى أَمْدَحْهُ أَمْدَحْهُ وَالْوَرَى☼مَعِى وَاِذَا
مَالُمْتُه لُمْتُه وَحْدِى
Susunan kata
yang bergaris bawah di atas merupakan contoh kalam yang tidak fashiih karena
susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan proporsional sehingga menyebabkan
lisan orang Arab kesulitan dalam pengucapannya. Seperti contoh dalam bahasa
Jawa “ kidul rel lor rel “. Bagi lisan orang Jawa kalimat
tersebut sulit untuk di ucapkan dengan fashiih disebabkan susunan dan pilihan
kata yang tidak ideal dan kurang proporsional.
b.
Dla’fut taklif berarti kalam ( susunan kalimat
) tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah penyusunan kalam yang berlaku
dalam ilmu nahwu. Seperti mendahulukan dlamir ( kata ganti ) sebelum
menyebutkan marji’nya ( tempat kembalinya dhamir ).
Contoh :
جَزَى بَنُوْهُ أَبَا الْغِيْلان عَن
كِبَرٍ ☼ وحُسْنِ فِعْلٍ كما يُجْزى سنِمّار
Letak dlamir هُ pada lafadz بَنُوْه mendahului marji’nya ; أَبَا
الْغِيْلان , hal demikian tidak sesuai dengan kaidah penyusunan kalam yang
berlaku dalam ilmu Nahwu. Oleh karena itu, kalam di atas tidak dapat
dikategorikan sebagai kalam yang fashih. Menurut kaidah ilmu Nahwu, letak dlamir
harus setelah penyebutan marji’nya, sehingga mukhathab dapat dengan mudah
menemukan marji’ dlamir tersebut.
c.
Ta’qid berarti
kalam tersebut masih samar – samar dalam olehnya menunjukkan makna yang
dikehendaki. Hal demikian menyebabkan mukhathab kesulitan dalam memahami maksud
perkataan mutakalim. Ta’qid ada dua macam :
·
Ta’qid Lafdzi
adalah ta’qid yang disebabkan oleh keruwetan dalam susunan lafadz. Seperti
taqdim ( mendahulukan lafadz yang seharusnya terletak di ahir ), takhir (
mengahirkan lafadz yang seharusnya terletak di awal ), washal ( menyambung
suatu lafadz setelahnya ), fashal ( memisah suatu lafadz dengan lafadz
setelahnya ) dan sebagainya.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
جَفَخَتْ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا بِهِمْ
شِيَمٌ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ دَلَائِلُ
“Kemegahan tapi
mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu telah ada pada mereka martabat
mulia yang menunjukkan. “.
Susunan yang seharusnya adalah :
جَفَخَتْ بِهِمْ
شِيَمٌ دَلَائِلُ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا
“ Kemegahan
telah ada pada mereka yang menunjukkan martabat mulia. Tapi mereka tidaklah
sombong dengan kemegahan itu “.
·
Ta’qid Maknawi
adalah ta’qid ( keruwetan makna ) yang disebabkan oleh penggunaan majaz (
kiasan – kiasan ) dan kinayah ( perumpamaan ) yang tidak mudah dipahami
maksudnya.
Contoh :
نَشَرَ
الْمَلِكُ أَلْسِنَتَهُ فِى الْمَدِيْنَة ِ
“ Raja telah
menyebarkan lidah – lidahnya di kota. “
Sebenarnya mutakalim hendak mengatakan “ Raja
telah menyebar mata – matanya di kota “, sehingga lafadz أَلْسِنَتَهُ tidak tepat jika digunakan
sebagai kiasan dari kata mata – mata. Akan tetapi kata yang tepat untuk
digunakan sebagai kiasan dari kata mata – mata adalah lafadz عُيُوْنَه . Jadi, susunan yang benar adalah :
نَشَرَ
الْمَلِكُ عُيُوْنَهُ فِى
الْمَدِيْنَة
“ Raja telah
menyebarkan mata – matanya di kota. “
Contoh dalam bahasa jawa, saat melihat
wanita, sering sekali para pemuda mengeluarkan kata – kata yang menyindir
( nggojloki , red ) salah satu bagian kewanitaannya ( payudaranya ) “ gedange’
“ ( pisang, bhs. Indo ). Secara logika, kata “ gedange’ “
tersebut sangatlah tidak tepat jika digunakan sebagai konotasi atau kiasan dari
payudara. Sedangkan kata yang tepat adalah “ kate’se’ “ ( pepaya,
bhs. Indo ), karena bentuknya yang mendekati mirip dengan payudara wanita.
Contoh lain : “ sido opo udu “ ( jadi apa bukan ) kalimat
tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai kalimat yang fashiih, karena
penggunaan kata udu yang bermakna bukan sangatlah tidak
tepat apabila digunakan sebagai konotasi dari kata yang bermakna tidak (
nafi ). Yang betul adalah : “ sido opo ora “ ( jadi apa tidak ),
karena kata ora mengandung makna nafi ( peniadaan ).
Seorang penyair
berkata :
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِعَنْكُمْ
لِتَقْرَبُوْا ☼وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعَ لِتَجمدا
“ ”
Ta’qid maknawi ini dapat diketahui melalui ilmu
bayan.
3.
Fashahatul Mutakallim ( Mutakallim fashiih )
Adalah suatu bakat yang menjadikan
mutakallim mampu mengutarakan maksudnya dengan kalam yang fashih pada setiap
tujuan.
Fashahah dapat pula diartikan
sebagai implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas, yang meliputi :
a)
Kemudahan
pelafalan.
b)
Kejelasan makna
(tidak gharib).
c)
Ketepatan
sharaf.
d)
Ketepatan
nahwu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar