Kamis, 10 April 2014

Balaghah Wal Fashahah


RESUME
ILMU  BALAGHOH

البلاغةوالفصاحة























Dosen  : Asep Majdi Tamam, M. Ag.

Ditulis oleh :
Dede Nurul Fu’adah
Iwa Kartiwa
Irfan Nursyamsi
Esti Ardiagarini









INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
CIAMIS 2013
A.  Makna Fashohat (الفصاحة  معن )
Istilah fashohat erat kaitannya dengan Balaghah. Bahkan sebelum mempelajari balaghah terlebih dahulu kita harus pelajari tentang fashohat. Pengertian fashohat adalah sebagai berikut:
1.    Menurut etimologi, fashohat adalah perkataan yang jelas.
2.    Menurut terminology, pengertian dari fashohat ini berbeda tergantung pada penggunaannya, yaitu:
a)    Fashohatul-kalimah atau disebut juga dengan fashohatul mufrad.
b)   Fashohatul-kalam atau susunan kalimatnya.
c)    Fashohatul-mutakallim atau orang yang berbicaranya.
1.      Fashahatul kalimat ( kalimat yang fashiih )
Suatu kalimat ( Kosakata ; bhs. Indo )  dikategorikan sebagai kalimat yang fashiih apabila kalimat tersebut selamat dari : 1 ) Tanafurul huruf. 2 ) Mukhalafatul qiyas. 3 ) Ghorobah.
a.       Tanafurul huruf adalah sifat yang terdapat di dalam suatu kalimat yang menyebabkan kalimat tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal demikian dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal.
Contoh :
الظَّشُّ
: sebutan bagi tempat yang kasar.
اَلْهُعْخُع
: sebutan bagi tanaman yang dimakan onta.
النُّقَاخ
: sebutan bagi air tawar yang bersih.
المُسْتَشْزِر
: sebutan bagi rambut yang digulung.


Lisan orang - orang Arab merasa kesulitan dalam mengucapkan lafadz – lafadz di atas dikarenakan susunan huruf dan tata letak syakal ( harokat ) yang kurang ideal dan proporsional ( terjadi tanafurul huruf ). Oleh karena itu, empat kalimat di atas tidak termasuk kalimat yang fashih. Contoh lain dalam bahasa jawa adalah kata “ rol – rolan “. Bagi mayoritas lisan orang Jawa sangatlah sulit untuk mengucapkan kata tersebut dengan fashih, dikarenakan ketidak idealan susunan huruf dan tanda bunyi yang terdapat di dalam kalimat tersebut.
b.      Mukhalafatul qiyas adalah kalimat tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah ilmu sharaf. Hal demikian dapat diketahui dengan merujuk pada kaidah – kaidah ilmu sharaf.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
فَاِنْ يَكُ بَعْضُ النَّاسِ سَيْفًا لِدَوْلَةٍ ☼ فَفِى النَّاسِ بُوْقَاتٌ لَهَا وَطُبُوْلٌ
“ Bila sebagian orang – orang itu menjadi pedang bagi Negara, maka di antara mereka akan ada yang menjadi terompet – terompet dan genderang – genderangnya. “
Dalam syair Al Mutanabi di atas terdapat lafadz بوقات  ( jamak muannats salim dari lafadz  بوق ). Lafadz بوقات tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lafadz ( kalimat ) yang fashih karena tidak sesuai dengan kaidah ilmu sharaf. Menurut kaidah ilmu sharaf, kalimat بوق tidak memenuhi syarat untuk dibuwat menjadi jamak muannats salim. Akan tetapi kalimat tersebut hanya dapat dijamakkan dengan jamak taksir ; ابواق .
Di dalam syair yang lain al Mutanabi berkata :
إنّ بنىَّ للئام زهده ☼ مالى فى صدورهم من موددة
Kalimat  موددة pada syair di atas juga tidak termasuk kalimat yang fashih. Menurut kaidah I’lal & Ibdal dalam ilmu sharaf, dua huruf dal tersebut harus diidghomkan ;  مودّة .
c.       Ghorobah berarti kalimat tersebut tidak menampakkan arti secara jelas dan jarang digunakan sehingga terdengar asing. Hal demikian dapat kita ketahui dengan memperbanyak menela’ah bahasa arab.
Contoh :
تَكَأْكَأَ
Bermakna اِجْتَمَعَ ( berkumpul )
اِفْرَنْقَعَ
Bermakna  اِنْصَرَفَ( berangkat )
اِطْلَخَمَّ
Bermakna اِشْتَدَّ ( dahsyat )
Ketiga kalimat di atas (تَكَأْكَأَ , اِفْرَنْقَعَ & اِطْلَخَمّ ) termasuk dalam kategori asing karena dalam percakapan orang Arab ketiga kalimat tersebut sangat jarang digunakan. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ geneyo “ bermakna bagaimana. Kata “ geneyo “ adalah kosakata asli penduduk Pacitan. Apabila kata tersebut terdengar di luar daerah Pacitan ( Pekalongan, Indramayu, Banyumas dll ) maka akan terkesan asing dan tidak jelas dalam menunjukkan makna yang dikehendaki oleh orang yang mengucapkannya.

2.      Fashahatul Kalam ( Kalam yang fashiih )
Suatu kalam ( Kalimat ; bhs. Indo )  dikategorikan sebagai kalam yang fashiih apabila kalam tersebut selamat dari :  1 ) Tanafurul kalimat.  2 ) Dla’fut Taklif. 3 ) Ta’qid.
a.       Tanafurul kalimat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kalam yang menyebabkan kalam tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal semacam ini dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal.
Contoh :
فِى رَفْعِ عَرْشِ الشَّرْعِ يَشْرَعوليسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْر
كَرِيْمٌ مَتَى أَمْدَحْهُ أَمْدَحْهُ وَالْوَرَى☼مَعِى وَاِذَا مَالُمْتُه لُمْتُه وَحْدِى
Susunan kata yang bergaris bawah di atas merupakan contoh kalam yang tidak fashiih karena susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan proporsional sehingga menyebabkan lisan orang Arab kesulitan dalam pengucapannya. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ kidul rel lor rel “. Bagi lisan  orang Jawa kalimat tersebut sulit untuk di ucapkan dengan fashiih disebabkan susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan kurang proporsional.

b.      Dla’fut taklif berarti kalam ( susunan kalimat ) tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam ilmu nahwu. Seperti mendahulukan dlamir ( kata ganti ) sebelum menyebutkan marji’nya ( tempat kembalinya dhamir ).
Contoh :
جَزَى بَنُوْهُ أَبَا الْغِيْلان عَن كِبَرٍ ☼ وحُسْنِ فِعْلٍ كما يُجْزى سنِمّار
Letak dlamir هُ  pada lafadz  بَنُوْه mendahului marji’nya ; أَبَا الْغِيْلان , hal demikian tidak sesuai dengan kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam ilmu Nahwu. Oleh karena itu, kalam di atas tidak dapat dikategorikan sebagai kalam yang fashih. Menurut kaidah ilmu Nahwu, letak dlamir harus setelah penyebutan marji’nya, sehingga mukhathab dapat dengan mudah menemukan marji’ dlamir tersebut.
c.       Ta’qid berarti kalam tersebut masih samar – samar dalam olehnya menunjukkan makna yang dikehendaki. Hal demikian menyebabkan mukhathab kesulitan dalam memahami maksud perkataan mutakalim. Ta’qid ada dua macam :
·      Ta’qid Lafdzi adalah ta’qid yang disebabkan oleh keruwetan dalam susunan lafadz. Seperti taqdim ( mendahulukan lafadz yang seharusnya terletak di ahir ), takhir ( mengahirkan lafadz yang seharusnya terletak di awal ), washal ( menyambung suatu lafadz setelahnya ), fashal ( memisah suatu lafadz dengan lafadz setelahnya ) dan sebagainya.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
جَفَخَتْ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا بِهِمْ شِيَمٌ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ دَلَائِلُ
“Kemegahan tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu telah ada pada mereka martabat mulia yang menunjukkan. “.
Susunan yang seharusnya adalah :
جَفَخَتْ بِهِمْ شِيَمٌ دَلَائِلُ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا
“ Kemegahan telah ada pada mereka yang menunjukkan martabat mulia. Tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu “.

·         Ta’qid Maknawi adalah ta’qid ( keruwetan makna ) yang disebabkan oleh penggunaan majaz ( kiasan – kiasan ) dan kinayah ( perumpamaan ) yang tidak mudah dipahami maksudnya.
Contoh :
نَشَرَ الْمَلِكُ أَلْسِنَتَهُ فِى الْمَدِيْنَة ِ
“ Raja telah menyebarkan lidah – lidahnya di kota. “
Sebenarnya mutakalim hendak mengatakan “ Raja telah menyebar mata – matanya di kota “, sehingga lafadz   أَلْسِنَتَهُ   tidak tepat jika digunakan sebagai kiasan dari kata mata – mata. Akan tetapi kata yang tepat untuk digunakan sebagai kiasan dari kata mata – mata adalah lafadz عُيُوْنَه . Jadi, susunan yang benar adalah :
نَشَرَ الْمَلِكُ عُيُوْنَهُ فِى الْمَدِيْنَة
“ Raja telah menyebarkan mata – matanya di kota. “
Contoh dalam bahasa jawa, saat melihat wanita,   sering sekali para pemuda mengeluarkan kata – kata yang menyindir ( nggojloki , red ) salah satu bagian kewanitaannya ( payudaranya ) “ gedange’ “ ( pisang, bhs. Indo ). Secara logika, kata “ gedange’ “ tersebut sangatlah tidak tepat jika digunakan sebagai konotasi atau kiasan dari payudara. Sedangkan kata yang tepat adalah “ kate’se’ “ ( pepaya, bhs. Indo ), karena bentuknya yang mendekati mirip dengan payudara wanita. Contoh lain : “ sido opo udu ( jadi apa bukan ) kalimat tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai kalimat yang fashiih, karena penggunaan kata udu yang bermakna bukan sangatlah tidak tepat apabila digunakan sebagai konotasi dari kata yang bermakna tidak ( nafi ). Yang betul adalah : “ sido opo ora ( jadi apa tidak ), karena kata ora mengandung makna nafi ( peniadaan ).
Seorang penyair berkata :
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِعَنْكُمْ لِتَقْرَبُوْا ☼وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعَ لِتَجمدا
“ ”
Ta’qid maknawi ini dapat diketahui melalui ilmu bayan.


3.        Fashahatul Mutakallim ( Mutakallim fashiih )
Adalah suatu bakat yang menjadikan mutakallim mampu mengutarakan maksudnya dengan kalam yang fashih pada setiap tujuan.
Fashahah dapat pula diartikan sebagai implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas, yang meliputi :
a)      Kemudahan pelafalan.
b)      Kejelasan makna (tidak gharib).
c)      Ketepatan sharaf.
d)     Ketepatan nahwu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar