Kamis, 03 November 2016

Ji'alah dan Khiwalah

Al-Khiwalah
A.      Pengertian Al-Khiwalah
Hawalah menurut etimologi berarti pengalihan, utang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
B.       Dasar Hukum
1.    Sunnah
Imam bukhari dan muslim meriwayatkan dai abu hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَاأُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلِى مَلَيٍّ فَلْيَتْبَعْ
Artinya: “menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah sebuh kedzaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalahkan) kepada oang yang mampu/kaya maka terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut, rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang meng-hawalah-kan kepada orang yang mampu/kaya, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang di-hawalah-kan (muhal’alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
2.    Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, hawalah harus pada uang atau kewajiban finansial.
C.      Rukun Al-Khiwalah
Menurut madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang diucapkan oleh Muhil dan qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal’alaih. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hawalah ada enam macam yaitu:
1.      Muhil (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
2.      Muhal (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang).
3.      Muhal’alaih (orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
4.      Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang).
5.      Piutang Muhil pada Muhal alaih.
6.      Shighot.
D.      Jenis-jenis Al-Khiwalah
1.    Ditinjau Dari Segi Jenis Akad
Akad hawalah ditinjau dari segi jenis akadnya dibagi menjadi dua, yaitu:
·      Hawalah Al-Muqayyadah, yaitu pemindahan sebagai ganti dai pembayaran hutang muhil (pihak yang berhutang/pihak yang pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan syarat). Dimana muhil memiliki utang – piutang dengan muhal’alaih.
·      Hawalah Al-Muthlaqoh, yaitu pemindahan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak). Dimana muhil tidak memiliki utang – piutang dengan muhil’alaih.
2.    Ditinjau Dari Segi Objeknya
Akad hawalah ditinjau dari segi jenis objeknya dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
·      Hawalah Al-Haqq, yaitu apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang.
·      Hawalah Ad-Dayn, yaitu apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang (pemindahan utang/ kewajiban).
E.       FATWA MUI HAWALAH
Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah disebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)
F.       MANFAAT HAWALAH
Akad hawalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan, diantaranya:
1.      Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan
2.      Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan
3.      Dapat menjadi salah satu fee-based income/ sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah.

Adapun resiko yang harus diwaspadai dari kontrak hawalah yaitu adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau ingkar janji dalam memenuhi kewajiban hawalah ke bank.
G.      BERAKHIRNYA AKAD HIWALAH
Akad hiwalah dapat berakhir karena beberapa sebab, diantaranya sebagai berikut:
1.    Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, maka pihak kedua berhak menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian pula hak pertama kepada pihak ketiga.
2.    Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3.    Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
4.    Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.
H.      APLIKASI HAWALAH DALAM PERBANKAN
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1.    Factoring
Yang dimaksud dengan Anjak Piutang Secara  syariah adalah pengalihan penyelesaian piutang atau tagihan jangka pendek dari pihak yang berpiutang kepada pihak lain yang kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak yang ditunjuk oleh pihak yang berutang sesuai prinsip syariah.


2.    Post dated check
Yaitu dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3.    Bill discounting
Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting. Nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.




Al-Ji’alah
A.      Pengertian Ji’alah
Kata ji’alah secara bahasa artinya mengupah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq : “Sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh.”
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan terbatas pada barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Kata ji’alah dapat dibaca jaalah. Pada zaman Rasulallah ji’alah telah diperaktekan. Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadits yang menceritakan tentang seorang badui yang disengat kalajengking kemudian dijampi oleh seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing.
B.       Landasan Hukumnya
Jumhur fuqaha sepakat bahwa hukum ji’alah adalah  mubah. Hal ini didasari karena ji’alah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Jialah merupakan akad yang sangat manusiawi, karena seseorang dalam hidupnya tidak mampu untuk memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya. Contoh, Orang yang kehilangan dompetnya maka ia sangat sukar jika ia mencari sendiri dompetnya yang hilang tanpa bantuan orang lain. Maka ia meminta kepada orang lain untuk mencarinya dengan iming-iming upah dari pekerjaan itu.
Dalam hal lain, yang masih termasuk ji’alah Rasulallah membolehkan memberikan upah atas pengobatan yang menggunakan bacaan al-Qur’an dengan surat al-fatihah. Ji’alah diperbolehkan lantaran diperlukan, karena itu di dalam ji’alah diperbolehkan apa-apa yang tidak diperbolehkan untuk lainnya.
Dalam Al-Qur’an Dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu di tegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72:
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ  
Artinya: penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
C.       Pendapat Ulama Mengenai Ji’alah
Para ulama berselisih pendapat tentang larangan dan kebolehan ji’alah. Imam malik berpendapat bahwa pengupahan itu dibolehkan pada sesuatu yang sedikit (ringan) dengan dua syarat. pertama: Tidak ditentukan masanya. Kedua: Upahnya diketahui. Fuqaha yang membolehkan pengupahan berpegang kepada firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72 tersebut, dan juga berpegang  kepada ijma ‘jumhur fuqaha’ tentang kebolehan pengupahan berkenaan dengan larinya hamba dan permintaan. Begitu juga dengan sabda Rasulallah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri.
Suatu ketika sahabat Rasulallah mendatangi sebuah perkampungan, namun mereka tidak dilayani layaknya tamu, tiba-tiba pemimpin mereka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul mengiya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca al-fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulallah, maka Rasulallah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
Tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki, bahwa upah itu bisa dimiliki kecuali apabila pekerjaan telah selesai, dan bahwa pengupahan itu tidak termasuk akad (perjanjian) yang mengikat.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengupahan itu tidak boleh. Fuqaha yang tidak membolehkan pengupahan beralasan bahwa di dalam pengupahan itu terdapat kesamaran (al gharar), karena disamakan dengan sewa-menyewa yang lain. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini ketika dianalogikan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang membolehkannya, dengan dasar istihsan (karena ada nilai manfaat).
D.      Pelaksanaan Ji’alah
Teknis pelaksanaan ji’alah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama ditentukan oleh orangnya, misalnya si Budi, maka si Budi sendiri berusaha mencari barang yang hilang. Kedua secara umum artinya seorang yang diberi pekerjaan mencari bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja. Misalnya, seorang berkata “Siapa saja yang bisa mengembalikan binatangku yang hilang maka aku akan berikan imbalan sekian”.
Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam ji’alah tidak dapat disyaratkan datang dari si pemilik barang yang hilang. Siapa saja yang mengatakan “Siapa saja yang dapat mengembalikan barang hilang kepunyaan si fulan maka ia akan kuberikan upah sekian”. Kemudian, ada orang yang mengembalikan barang ini baik ia mendengar berita ini dari yang mengatakan tadi atau berita itu disampaikan oleh orang lain ketelinganya maka ia berhak menerima ju’lu (upah),  hal tersebut dapat dibenarkan karena dalam ji’alah  disyaratkan besar jumlah upah yang harus ia terima artinya ia harus tahu berapa jumlah yang ia terima jika berhasil mengembalikan barang karena hal ini sama dengan sewa-menyewa. kalau upah yang akan diberikan itu majhul (tidak diketahui) maka hukumnya fasid (rusak). Bagaimana jika orang yang mengembalikan barang yang hilang itu jumlahnya banyak bukan satu orang, Maka upahnya itu dibagi rata karena mereka sama-sama bekerja meskipun kualitas kerjanya tidak sama.
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, “siapa yang mendapatkan barangku akan ku beri uang sekian”. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang akan dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.
E.       Rukun Ji’alah
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam ji’alah:
1.    Lafal: Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan ji’alah tanpa seizing orang yang menyuruh (Pemilik barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
2.    Orang yang menjanjikan memberi upah: Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang lain.
3.    Pekerjaan: Mencari barang yang hilang.
4.    Upah harus jelas: Telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum ”siapa yang menemukan barangku akan aku beri uang sekian, kemudian dua orang mencari barang itu sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang di janjikan tadi berserikat antara keduanya.
F.        Pembatalan Ji’alah
Pembatalan ji’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ji’alah atau orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.
G.      Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan. Allah berfirman dalam surat al-Zalzalah ayat 7:
7ͳtBöqtƒ âßóÁtƒ â¨$¨Y9$# $Y?$tGô©r& (#÷ruŽãÏj9 öNßgn=»yJôãr& ÇÏÈ  

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.”k

Tidak ada komentar:

Posting Komentar