Al-Khiwalah
A.
Pengertian Al-Khiwalah
Hawalah menurut etimologi berarti pengalihan, utang dari orang yang
berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama,
hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berhutang)
menjadi tanggungan muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
B.
Dasar Hukum
1.
Sunnah
Imam bukhari dan muslim meriwayatkan dai abu hurairah bahwa
Rasulullah saw. Bersabda:
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَاأُتْبِعَ أَحَدُكُمْ
عَلِى مَلَيٍّ فَلْيَتْبَعْ
Artinya: “menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah sebuh
kedzaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalahkan) kepada
oang yang mampu/kaya maka terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut, rasulullah memberitahukan kepada orang yang
mengutangkan, jika orang yang berutang meng-hawalah-kan kepada orang yang
mampu/kaya, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah ia menagih
kepada orang yang di-hawalah-kan (muhal’alaih). Dengan demikian, haknya dapat
terpenuhi.
2.
Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang
yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh
sebab itu, hawalah harus pada uang atau kewajiban finansial.
C.
Rukun Al-Khiwalah
Menurut madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang
diucapkan oleh Muhil dan qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal’alaih.
Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hawalah ada enam macam yaitu:
1.
Muhil
(orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
2.
Muhal
(orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang
mempunyai piutang).
3.
Muhal’alaih
(orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
4.
Muhal
bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang).
5.
Piutang
Muhil pada Muhal alaih.
6.
Shighot.
D.
Jenis-jenis Al-Khiwalah
1.
Ditinjau
Dari Segi Jenis Akad
Akad hawalah ditinjau dari segi
jenis akadnya dibagi menjadi dua, yaitu:
· Hawalah Al-Muqayyadah, yaitu pemindahan sebagai ganti dai
pembayaran hutang muhil (pihak yang berhutang/pihak yang pertama) kepada
muhal/pihak kedua (pemindahan syarat). Dimana muhil memiliki utang – piutang
dengan muhal’alaih.
· Hawalah Al-Muthlaqoh, yaitu pemindahan utang yang tidak ditegaskan
sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada
muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak). Dimana muhil tidak memiliki utang –
piutang dengan muhil’alaih.
2.
Ditinjau
Dari Segi Objeknya
Akad hawalah ditinjau dari segi
jenis objeknya dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
· Hawalah Al-Haqq, yaitu apabila yang dipindahkan itu merupakan hak
menuntut utang.
· Hawalah Ad-Dayn, yaitu apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk
membayar hutang (pemindahan utang/ kewajiban).
E.
FATWA MUI HAWALAH
Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia,
maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta
melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem
Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah
disebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak
untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)
F.
MANFAAT HAWALAH
Akad hawalah dapat memberikan banyak
sekali manfaat dan keuntungan, diantaranya:
1.
Memungkinkan
penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan
2.
Tersedianya
talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan
3.
Dapat
menjadi salah satu fee-based income/ sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank
syariah.
Adapun resiko yang harus diwaspadai dari kontrak hawalah yaitu
adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau ingkar janji dalam
memenuhi kewajiban hawalah ke bank.
G.
BERAKHIRNYA AKAD HIWALAH
Akad hiwalah dapat berakhir karena
beberapa sebab, diantaranya sebagai berikut:
1.
Salah
satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hawalah sebelum akad
itu berlaku secara tetap, maka pihak kedua berhak menuntut pembayaran hutang
kepada pihak pertama. Demikian pula hak pertama kepada pihak ketiga.
2.
Pihak
ketiga melunasi hutang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3.
Pihak
kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta
pihak kedua.
4.
Pihak
kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad
hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.
H.
APLIKASI HAWALAH DALAM PERBANKAN
Kontrak hawalah dalam perbankan
biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1.
Factoring
Yang dimaksud dengan Anjak Piutang Secara syariah adalah pengalihan penyelesaian
piutang atau tagihan jangka pendek dari pihak yang berpiutang kepada pihak lain
yang kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak
yang ditunjuk oleh pihak yang berutang sesuai prinsip syariah.
2.
Post
dated check
Yaitu dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu
piutang tersebut.
3.
Bill
discounting
Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja,
dalam bill discounting. Nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee
tidak didapati dalam kontrak hawalah.
Al-Ji’alah
A.
Pengertian
Ji’alah
Kata ji’alah secara bahasa artinya mengupah. Secara syara’
sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq : “Sebuah akad untuk mendapatkan
materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh.”
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha
yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang
atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau
seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan terbatas pada
barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan
seseorang.
Kata ji’alah dapat dibaca jaalah. Pada zaman Rasulallah ji’alah
telah diperaktekan. Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadits yang
menceritakan tentang seorang badui yang disengat kalajengking kemudian dijampi
oleh seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing.
B.
Landasan
Hukumnya
Jumhur fuqaha sepakat bahwa hukum ji’alah adalah mubah. Hal ini didasari karena ji’alah
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Jialah merupakan akad yang sangat
manusiawi, karena seseorang dalam hidupnya tidak mampu untuk memenuhi semua
pekerjaan dan keinginannya kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain
untuk membantunya. Contoh, Orang yang kehilangan dompetnya maka ia sangat sukar
jika ia mencari sendiri dompetnya yang hilang tanpa bantuan orang lain. Maka ia
meminta kepada orang lain untuk mencarinya dengan iming-iming upah dari
pekerjaan itu.
Dalam hal lain, yang masih termasuk ji’alah Rasulallah membolehkan
memberikan upah atas pengobatan yang menggunakan bacaan al-Qur’an dengan surat
al-fatihah. Ji’alah diperbolehkan lantaran diperlukan, karena itu di dalam
ji’alah diperbolehkan apa-apa yang tidak diperbolehkan untuk lainnya.
Dalam Al-Qur’an Dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada
orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu di tegaskan
dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72:
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy ÇÐËÈ
Artinya:
penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya".
C.
Pendapat
Ulama Mengenai Ji’alah
Para ulama berselisih pendapat tentang larangan dan kebolehan ji’alah.
Imam malik berpendapat bahwa pengupahan itu dibolehkan pada sesuatu yang
sedikit (ringan) dengan dua syarat. pertama: Tidak ditentukan masanya. Kedua:
Upahnya diketahui. Fuqaha yang membolehkan pengupahan berpegang kepada firman
Allah dalam surat Yusuf ayat 72 tersebut, dan juga berpegang kepada ijma ‘jumhur fuqaha’ tentang kebolehan
pengupahan berkenaan dengan larinya hamba dan permintaan. Begitu juga dengan
sabda Rasulallah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah
kecuali imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri.
Suatu ketika sahabat Rasulallah mendatangi sebuah perkampungan,
namun mereka tidak dilayani layaknya tamu, tiba-tiba pemimpin mereka terserang
penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat
Rasul mengiya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui,
kemudian seorang sahabat membaca al-fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut
sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima
sebelum lapor dari Rasulallah, maka Rasulallah tersenyum melihat atas laporan
kejadian itu.
Tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki, bahwa upah itu
bisa dimiliki kecuali apabila pekerjaan telah selesai, dan bahwa pengupahan itu
tidak termasuk akad (perjanjian) yang mengikat.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengupahan itu tidak
boleh. Fuqaha yang tidak membolehkan pengupahan beralasan bahwa di dalam
pengupahan itu terdapat kesamaran (al gharar), karena disamakan dengan
sewa-menyewa yang lain. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu
yang ditentukan. Hal ini ketika dianalogikan dengan akad ijarah yang
mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun
demikian, ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang membolehkannya, dengan dasar istihsan
(karena ada nilai manfaat).
D.
Pelaksanaan
Ji’alah
Teknis pelaksanaan ji’alah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama
ditentukan oleh orangnya, misalnya si Budi, maka si Budi sendiri berusaha
mencari barang yang hilang. Kedua secara umum artinya seorang yang diberi
pekerjaan mencari bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya, seorang berkata “Siapa saja yang bisa mengembalikan binatangku yang
hilang maka aku akan berikan imbalan sekian”.
Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam ji’alah tidak dapat
disyaratkan datang dari si pemilik barang yang hilang. Siapa saja yang
mengatakan “Siapa saja yang dapat mengembalikan barang hilang kepunyaan si
fulan maka ia akan kuberikan upah sekian”. Kemudian, ada orang yang
mengembalikan barang ini baik ia mendengar berita ini dari yang mengatakan tadi
atau berita itu disampaikan oleh orang lain ketelinganya maka ia berhak
menerima ju’lu (upah), hal tersebut
dapat dibenarkan karena dalam ji’alah
disyaratkan besar jumlah upah yang harus ia terima artinya ia harus tahu
berapa jumlah yang ia terima jika berhasil mengembalikan barang karena hal ini
sama dengan sewa-menyewa. kalau upah yang akan diberikan itu majhul (tidak
diketahui) maka hukumnya fasid (rusak). Bagaimana jika orang yang mengembalikan
barang yang hilang itu jumlahnya banyak bukan satu orang, Maka upahnya itu
dibagi rata karena mereka sama-sama bekerja meskipun kualitas kerjanya tidak
sama.
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum,
“siapa yang mendapatkan barangku akan ku beri uang sekian”. Kemudian dua orang
bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu
bersama-sama, maka upah yang akan dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.
E.
Rukun
Ji’alah
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam ji’alah:
1.
Lafal:
Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan
waktunya. Jika mengerjakan ji’alah tanpa seizing orang yang menyuruh (Pemilik
barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
2.
Orang
yang menjanjikan memberi upah: Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau
orang lain.
3.
Pekerjaan:
Mencari barang yang hilang.
4.
Upah
harus jelas: Telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan
pekerjaan (menemukan barang).
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum
”siapa yang menemukan barangku akan aku beri uang sekian, kemudian dua orang
mencari barang itu sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka
upah yang di janjikan tadi berserikat antara keduanya.
F.
Pembatalan
Ji’alah
Pembatalan ji’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang
yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ji’alah atau orang yang
mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja
mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja.
Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang
bekerja menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.
G.
Hikmah
Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa
materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang
berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan
kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat
dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan,
menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang
saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu
semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam
mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka
yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari
pekerjaan yang baik yang ia kerjakan. Allah berfirman dalam surat al-Zalzalah
ayat 7:
7ͳtBöqt âßóÁt â¨$¨Y9$# $Y?$tGô©r& (#÷ruãÏj9 öNßgn=»yJôãr& ÇÏÈ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.”k
Tidak ada komentar:
Posting Komentar