Kamis, 03 November 2016

Rangkuman Filsafat

2.      PEMIKIRAN
2.1  TENTANG ATOM 
              Demokritos dan gurunya, leukippos, berpendapat bahwa atom adalah unsur-unsur yang membentuk realitas. Disini, mereka setuju dengan ajaran Pluralisme, Empedokles dan Anaxagoras bahwa realitas terdiri dari banyak unsure, bukan satu. Akan tetapi, bertentangan dengan Empedokles dan Anaxagos, demokritos mengangga bahwa unsur- unsur tersebut tidak dapat di bagi-bagi. Karena itulah, unsur-unsur tersebut diberi nama atom ( bahasa yunani atomos : a berbarti “tidak” dan tomos berarti “terbagi”). 
              Atom-atom tersebut merupakan unsur-unsur terkecil yang membentuk realitas. Ukurannya begitu kecil sehingga mata manusia tidak bisa melihatnya. Selain itu, atom  juga tidak memiliki kualitas, seperti panas atau manis. Hal itu pula yang membedakan dengan konsep zat-zat Empedokles dan benih-benih dari Anaxagoras. Atom-atom tersebut berbeda satu dengan yang lainnya melalui tiga hal:
a.       Bentuknya ( seperti huruf A berbeda dengan huruf N).
b.      Urutannya ( seperti AN berbeda dengan NA).
c.       Posisinya ( huruf A berbeda dengan Z dalam urutan abjad).
Dengan demikian, atom memiliki kuantitas belaka, termasuk juga massa. Jumlah atom yang membentuk realitas ini tidak berhingga.
Selain itu, atom juga dipandang sebagai tidak dijadikan, tidak dapat dimusnahkan,dan tidak berubah. Yang terjadi pada atom adalah gerak. Karena itu, Demokritus menyatakan bahwa “ prinsip dasar alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan”. Jika ada ruang kosong, maka atom- atom itu dapat bergerak. Demokritus membandingkan gerak atom dengan situasi ketika sinar matahari memasuki kamar yang gelap gulita melalui retak-retak jendela. Disitu terlihat bagaimana debu bergerak kesemua jurusan, walaupun tidak ada angin yang menyebabkan bergerak. Dengan demikian, tidak diperlukan prinsip lain untuk membuat atom-atom itu bergerak, seperti prinsio “ cinta “ dan “ benci ” menurut Empedokles. Adanya ruang kosong sudah cukup membuat atom-atom itu bergerak.

2.3  Tentang Dunia
Dunia dan seluruh realitas tercipta karena atom-atom yang berbeda bentuk saling mengait satu sama lain. Atom-atom yang berkaitan itu kemudian mulai bergerak berputar, dan makin lama makin banyak atom yang ikut ambil bagian dari gerak tersebut. Kumpulan atom yang lebih besar tinggal di pusat gerak tersebut sedangkan kumpulan atom yang lebih halus dilontarkan ke ujungnya. Demikian dunia terbentuk.

2.2  Tentang Manusi
Tentang manusia, Demokritos berpandangan bahwa manusia juga terdiri dari atom-atom jiwa manusia digambarkan sebagai atom-atom halus. Atom-atom ini digerakan oleh gambaran-gambaran kecil atas suatu benda yang disebut eidola. Dengan demikian muncul kesan-kesan indrawi atas benda-benda tersebut.
     
2.3  Tentang pengenalan
Sebelumnya telah dikatakan bahwa setiap benda, yang tersusun atas atom-atom, mengeluarkan gambaran-gambran kecil yang disebut eidola. Gambaran-gambaran inilah yang masuk ke panca indra manusia dan di salurkan kejiwa. Manusia dapat melihat karena gambaran-gambaran kecil tersebut bersentuhan dengan atom-atom jiwa. Proses semacam ini berlaku bagi semua jenis pengenalan indra lainnya.
Lalu bagaimana dengan kualitas yang diterima oleh indra manusia, seperti pahit, manis, warna, dan sebagainya? Menurut Demokritos atom-atom tersebut tidak memiliki kualitas, jadi darimana kualitas-kualitas seperti itu dirasakan oleh manusia? Menurut Demokratos, kualitas-kualitas seperti itu dihasilkan adanya kontak antara atom-atom tertentu dengan yang lainnya. Misalnya saja, manusia merasakan manis karena atom jiwa bersentuhan dengan atom-atom yang licin. Kemudian manusia merasakan pahit bila jiwa bersentuhan dengan atom-atom yang kasar. Rasa panas didapatkan karena jiwa bersentuhan dengan atom-atom yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
Dengan demikian, Demokritos menyimpulkan bahwa kualitas-kualitas itu hanya dirasakan oleh subyek dan bukan keadaan benda yang sebenarnya. karena itulah, Demokritos menyatakan bahwa manusia tidak dapat mengenali hakikat sejati suatu benda. yang dapat di amati hanyalah gejala atau penampakan benda tersebut Demokritos mengatakan:
 “ Tentunya akan menjadi jelas. Ada satu masalah yang ttidak dapat dipecahkan. Yakni bagaimana keadaan setiap benda dalam kenyataan yang sesungguhnya, kita sama sekali tidak tahu sebab kebenaran terletak didasar jurang yang dalam.”

2.4  Etika
Menurut Demokritos, nilai tertinggi di dalam hidup manusia adalah keadaan batin yang sempurna ( euthymia ). Hal itu dapat dicapai bila manusia menyeimbangkan semua faktor di dalam kehidupa. Kesenangan, dan kesusahan, kenikmatan dan pantangan. Yang bertugas mengusahakan keseimbangan ini adalah rasio.

Zaman Patristik dan Skolastik ( 300 M- 1500 M)
1.       Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)
Pemikiran filsafat para Bapa Gereja Katolik mengandung unsure neo-platonisme. Para Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut pengertian dan akalbudi. Memberinya infra struktur rasional, dan dengan cara itu membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Alloh menjadi pokok pembahasan utama, hakekat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus (354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ( lumens) dari Allah. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih kebenaran ( yang adalah pantulah Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa “ imago Dei” (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh mamantulkan siapa Allah itu dengan cara lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.
“ Tuhan, engkau lebih tinggi daripada yang lebih tinggi dalam diriku, dan lebih dalam daripada yang paling dalam batinku”. Itu ungkapan Agustinus tentang pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusa. Dalam zaman ini pokok-pokok iman kristiani dinyatakan dalam syahadat iaman rasui  (teks “Aku Percaya” yang panjang ). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok iman, termasuk tentang trinitas tentu saja dalam kategori pemikiran filsafat pada waktu itu dan dengan bahan dari al-kitab.
Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratife atas kitab kejadian, yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan creation ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari ke 7 Allah beristirahat sesudah melihat semua itu baik adanya. “ Allah tidak ingin mengajar kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka”. Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama dengan dunia penciptaan adalah tindakan tanpa dimensi waktu yang melaluinya waktu menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex nihilo tidak berarti bahwa tidak itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat dari perunggu, namun hanya berarti “tidak terjadi dari sesutau yang sudah ada”. Hakikat alam ciptaan ialah menerima seluruh adanya dari yang lain, yaitu sang Khalaik. Alam ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.
Disini tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli filsafat pada umumnya sependapat bahwa a prioprikita tidak dapat memastikan mana yang terjadi.Menciptakan,sebagai tindakan aktif,di pandang dari sudut Tuhan,merupakan cetusan kehendak-Nya yang beri]sifat langgeng, karena segala sesuatu dalam tuhan adalah langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan, terciptanya itu dapat terjadi dalam arus waktu, atau diluarnya, sejak zaman kelanggengan. Jadi, kelirulah jika dibayangkan bahwa tuhan suatu ketika menciptakan alam dunia lalu mengundurkan diri. Andaikata tuhan seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung kepada tuhan ( creatio dan sekaligus conservation).
Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia, Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu sebelum menciptakan tersebut.
1.      Zaman Skolatik
Saya membagi zaman skolantik dalam 2 tahap   :
1.      Zaman skolatik timur, yang siwarnai situasi dalam komunitas islam ditimur tengah, abad 8 – 12 M dan
2.      Zaman skolatik barat, abad 13 – 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di eropa (termasuk jazirah spanyol ).

Secara sederhana, dalam zama patristik, “ filsafat teologi”, dengan tanda dapat dibaca sebagai “identik dengan”, “ sama sebangun dengan”, “praktis tidak berbeda dengan”. Semetara dalam periode skolantik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul dalam rumusan “filsafat teologi”, dalam periode skolantik barat tidak ada keraguan tentang mana simbul dalam rumusan “filsafat teologi”.

Zaman Skolantik dan Abad Pertengahan
      Sebutan skolastik mengungkapkan, bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan yang diusahakan oleh sekolah-sekolah, dan ilmu tersebut terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah itu, semula skolastik timbul di biara-biara tertua di Gallia selatan, tempat pengungsian ketika ada perpindahan bangsa-bangsa. Sebab di situlah tersimpan hasil-hasil karya para tokoh kuna dan para penulis kristiani. Dan biara-biara Gallia selatan itu kemudian skolastik timbul disekolah-sekolah kapitel, yaitu sekolah-sekolah yang dikaitkan dengan gereja. Sifat filsafat skolastik adalah pengetahuan yang di gali dari buku-buku diberi tekanan berat. Jagad raya memang dipelajari, akan tetapi bukan dengan penelitiannya, melainkan dengan menanyakan kepada pendapat para filsuf yunani tentang jagad raya itu. Ada yang mengatakan juga bahwa skolastik itu filsafat yang berdasarkan atas agama atau kepercayaan. Abad ke-5 sampai abad ke-9 terjadi  perpindahan bangsa-bangsa. Suku bangsa Hun pindah dari Asia ke Eropa. Bangsa Jerman pindah-pindah melewati perbatasan kerajaan Romawi, dan begitu seterusnya. Eropa kacau balau. Perkembangan teologi dan filsafat tidak begitu besar. Nama seperti Boethius (480-534) dan Alcuinus berasal dari masa ini. Baru pada akhir abad ke-9 muncul nama-nama yang mempengaruhi teologi dan filsafat seperti:
1.      Johanes Scotus Eriugena (810-877),
2.      Anselmun dari Canterbury (1033-1109),
3.      Petrus Abeladrus (1079-1142),
4.      Ibn Sina (980-1073) orang Arab dengan nama latin Avicenna,
5.      Ibn Rushd (1126-1198) juga orang Arab nama latin Averroes,
6.      Moses Maimodes (1135-1240) orang Yahudi,
7.      Bonaventura (1221-1274),
8.      Albertus Agung (1205-1280),
9.      Thomas Aquinas (1225-1274).
Ia adalah yang paling terkenal, Thomas Aquinas sangat terpengaruh oleh filsafat Aristoteles. Orang katolik terima Thomas Aquinas sebagai Bpak Gereja. Orang protestan banyak menolak argument-argumen Thomas yang terlalu terpengaruh oleh Aristoteles sehingga kadang-kadang menyimpang dari exegese yang sehat dari Alkitab.

      Disini ditekankan bahwa teologi dan filsafat saling mempengaruhi walaupun ada peringatan dari Tertulianus akan bahayanya pengaruh filsafat non-kristen pada imam kristiani. Kalau pada zaman patristic pengaruh Plato yang terasa sangat dominan. Zaman skolastik terbagi menjadi 2 tahapsebagai berikut:
1.      Zaman skolastik timur, yang diwarnai situasi dalam komunitas islam di Timur Tengah abad ke 8-12 M,
2.      Zaman skolastik barat, abad ke 12-15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa(termasuk jazirah spanyol).

Secara sederhana dalam zaman patristik filsafat teologi dengan tanda dapat dibaca sebagai “ identik dengan”, “sama sebangun dengan”, “praktis tidak berbeda dengan”. Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atau simbul dalam rumusan filsafat teologi, dalam periode skolastik Barat tidak ada keraguan tentang makna simbul dalam rumusan filsafat teologi.

1.      Periode Skolastik Timur
Abad ke- 5 sampai abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari Utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada, sebaliknya di Timur Tengah, sejak munculnya agama islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak islam, ada perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan, pada awal abad ke-8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah, amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat Sesutu, berpangkal pada pengguna akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan islam.

a)      Mazhab Mu’tazila (725-850-1025 M)
Meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan ( selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu membedakan baik dan buruk. Maka berbuat baik adalah wajib.  Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar manusia dan antar bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan in cocok dengan Al-Qur’an (surah 3 ayat 110): “amr bil-a’ruf wa’l nahy an’almunkar”
Mazhab mu’tazila ada pada pendapat bahwa Al-Qur’an tercipta, artinya “dirumuskan oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus”. Maka para Mu’tazila membaca A-Qur’an dengan kacamata rasionalis.

b)     Mazhab Falsafah Pertama (830-1037 M)
Berhaluan Neoplatonis dan Aristoteles, kata “falsafah” dipakai untuk mengartikan filsafat Hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut “faylasuf” (falasifa yaitu jamak), ada empat tokoh bedar yaitu:
1.      Al-Kindi (800-870 M),
2.      Al-Razi (865-925 M),
3.      Al-Farabi (872-950 M),
4.      Ibn Sina (980-1037).
Menggumuli masalah klasik “perbedaan antara dhat dan wujud” (distinction realis inter essentiam et existentiam). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu’l Qur’an tulis Al-Razi “ Tuhan member kepada manusia akal sebagai anugrah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang bermanfa’at bagi kita dan yangdapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata-mata.”

c)      Mazhab pemikiran yang ketiga disebut kalam Ashari
Berpusat di Bgdad, dan bercorak atomisme ( yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus 370 SM) dan bergumul dengan soal sebab musabab, kebebasan manusia, dan keEsaan Tuhan. Para tokohnya:
1.      Al-Ash’ari (873-935 M),
2.      Al-Baqillani (?-1035),
3.      Al-Ghajali (1065-1111 M).

Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari tuhan. Daya alam serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan Al-khaliq. “ tiada yang tersembunyi daripada-Nya seberat diharapkan”. (Al-Qur’an surat 34 ayat 3). Tapi kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. “ kami menyangka bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang.” Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan Maha Kuasa dan mendalangi setiap kegiatan insane. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semu saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. “bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai Rahmat-Nya , bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilan-Nya.
Dalam “At-Tahafut Al-Filasifah” Al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri. Seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat “al-aql laysa lahu fi’l-shar’ majal” untuk akal tiada tempat dalam agama.

d)     Jauh dari pusat Khilafh Abbasiyah di Timur Tengah
Dikawasan yang dikenal sebagai MaghribAl-Aqsa (barat jauh: Afrika Barat Laut, Jazirah Andalusia, yaitu spanyol sekarang). Berkembanglah pusat islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (?-1185), dan Ibn Rushd (“Averroes”) (1126-1198 M). merupakan 3 filsuf utama dalam perioda filsafat kedua (1100-1195 M).
Ciri para filsuf ini pada umumnya menolak haluan anti-rasional Al-Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohanu sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada abdi-Nya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al-himah al-mashiriyyah.
Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis ( tentang karya-karya filsafat dikawasan timur) dan karangan apologetic ( yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-tahafut al-filasifah al- Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan panca indra, dan memahaminya sebagai nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa’ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur’an yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang Maha Bijaksana.
Karya Apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai sahabat al-ashar’at w’ahat al-ruzdat, teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh Al- Qur’an agar manusia dapat memuji karya Tuhan didunia ini (antara lain surah 3 ayat 188, surah 6 ayat 78, surah 7 ayat 184, surah 59 ayat 2, dan surah 88 ayat 17 ). Bila studi hokum (fiqh) tidak di sertai filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.
Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan sekeranjang buku seberat sosok mayatnya. Tetapi naskahnya populer di Eropa,khususnya dilingkungan kampus Universitas Paris dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki “sang filsuf” diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan “sang komentator”. Sebagai akibatnya, obor perenungan filsuf Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan keseluruh dunia. Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.

2.      Periode Skolastik Barat
Awal abad 13 ditandai dengan 3 hal penting
1.      Berdirinya Universitas-universitas,
2.      Munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan),
3.      Diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari, dikritik dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Tema filsafat periode ini adalah hubungan akal budi dan iman, adanya dan hakekat Tuhan,antropologi, etika dan politik.
      Otonomi filsafat yang bertumpu pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia dipertahankan. Menurut Aquinas, akal memampukan manusia mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena itu teologi memerlukan iman, karena hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman. Dengan iman yang meruoakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah, manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski akal tidak dapat menemukan (menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju misteri (prae-ambulum fidei).
      Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu bertentangan atau dipertentangkan tetapi berdiri sendiri berdampingan. Pengetahuan alamiah (yang berpangkal pada akal budi ) dan pengetahuan iman (yang bersumber pada kitab suci san tradisi keagamaan) adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang akhirnya membedakan dengan tegas “Geisteswissenschften” sama dengan “Human Science” dari “naturwisensshaften” sama dengan “natural science”, sementara Max Weber membedakan “erklaeren” sebagai cirri-ciri ilmu alam dari “verstehen” yang merupakan cirri khas ilmu-ilmu kemanusiaan.





Filsafat Eksistensialisme
      Aliran filsafat eksistensialisme adalah filsafat yang pemahamannya berpusat pada manusia atau individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa mendalami nilai kebenaran sesuatu. Sebenarnya bukannya tidak mendalami atau mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu relative, maka masing-masing individu bebas menentukan sesuatu mereka anggap benar.
      Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan leewat kebebasan. Pertanyaan utamayang berhubungan dengan eksistensialisme adalah selalu persoalan kebebasan. Apakah kebebasan itu? Bagaimana manusia yang bebas? Dan sesuai dengan ide utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
      Filsafat eksistensialisme hadir lewat Jean Paul Sartre (versi pembelajaran filsafat di sekolahan)      . Sartre dengan diktumnya “human is condemned to be free” , manusia dikutuk untuk bebas. Maka dengan kebebasan itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah sejauh mana kebebasan tersebut bebas? Atau dalam istilah orde baru apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Bagi eksistensialis ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Namun, bapak filsafat eksistensialisme ini adalah Soren Aabye Kierkegaard dialah yang pertama kali mencetuskan filsafat eksistensialisme kemudian diturunkan kepada Sartre walaupun akhirnya Sarte lebih banyak dikenal dalam studi filsafat eksistensialisme karena karya-karyanyanya.
      Namun menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggungjawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistenistensialisme.

Soren Aabye Kierkegaard
      Soren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark 5 Mei 1813 dan meninggal di Kopenhagen Denmark 11 November 1855 pada umur 42 tahun. Dia adalah seorang filsafat dan teolog abad ke-19. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religious dan seorang anti filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi eksistensialisme. Kierkegaard tertama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap Dialektika Hegel. Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi derta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samara, yang sering kali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samara lain, sangatlah sulit untuk mebedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukannya berbagai argument dari posisi seorang pseudo pengarang. Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard sejauh ini adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19.
     
Pemikir Kierkegaard
      Pemikiran Kierkegaard sebagai kritik atas Hegel, menekankan pada aspek subjektivisme. Mengingat seluruhnya pada dasarnya adalah manifestasi dari apa yang disebut Hegel sebagai fenomenologi roh maka individu manusia direduksi menjadi kawanan. Hal ini akan melenyapkan individu dari tanggung jawab pribadinya secara etis bahkan juga melenyapkan eksistensi individu didalam kerumunan kawan. Penekanan pada eksistensi individu inilah yang menjadikan Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialismng dipopulerkan oleh Sartre kelak.
      Pemikiran lain yang menarik adalah sebuah dialeksasi eksistensialis yang menggambarkan religiusitas manusia dari apa yang disebutnya tahap estesis, tahap estesis hingga tahap religious. Tahap pertama adalah tahap estesis yaitu ketika menusia berkesistensi berdasarkan prinsip kesenangan indraei, sebagaimana arti kata estesis yang bermakna mengindra. Tokoh dalam peradaban barat yang menjadi contoh adalah Don Juan yang memburu kesenangan.
      Tahapan kedua dicapai dengan satu lompatan menuju tahap dimana manusia bereksistensi dengan pertimbangan moral universal dalam kerangka benar dan salah. Tokoh yang dapat dijadikan contoh adalah Socrates yang mengorbankan dirinya demi prinsip moral universal. Tahap terakhir adalah tahap keimanan puncak yang tidak dapat dinilai dengan penilaiaan moral universal namun menemui sifat paradox keimanan.
      Tokoh yang dijadikan teladan adalah Ibrahim atau Abraham dalam kisah penyembelihan anaknya (Ishak dalam agama Kristen dan Ismail salam agama islam ) yang tindakannya tersebut, sebagai manifestasi dari keimananya, tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal. Sebuah tindakan yang mengandung dasar paradox karena di satu sisi Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya, dan kehilangan segala-galanya, dengan gerakan imannya dan di sisi lain secara bersamaan, dia mendapatkan segalanya dengan cara yang baru. Sebuah kegilaan Ilahi, sesuatu yang tidak dikutuk tapi justru dianjurkan oleh Kierkegaard yang akan tampak absurd apabila dimasukkan ke dalam kategori moral universal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar